Dari Bagian 2
Aku duduk hampir membeku, memperhatikan diriku pada cermin di dinding.
Memperhatikan Martin sekarang berdiri di depan bahuku, memasangkan
kalung di leherku. Aku melihat di cermin jubahnya yang terbuka, penisnya
sekarang tersentuh lengan tanganku, langsung bersentuhan karena blus
tak berlengan yang aku kenakan.
"Bagaimana, kamu suka Lusi? Ayo, peganglah. Sudah pernahkah kamu melihat yang seperti ini?"
"Tidak. Belum pernah. Ini sangat besar. Aku belum pernah melihat yang sebesar ini."
Aku menggerakkan kepalaku ke samping saat aku bicara, menatap pada
kemaluannya yang menggesek bahuku, mengamati kantung buah zakarnya untuk
pertama kali. Itu juga besar. Besar tetapi lebih lembut dibanding
kantong berkerut Tom.
"Terimakasih. Aku pikir kemungilanmu yang cantik membuatnya nampak lebih besar. Sentuhlah kalau kamu ingin."
"Kal.. Eh.. Benda ini?"
"Apapun yang kamu inginkan, Lusi. Kamu ingin merasakannya, ya kan?"
"Uh huh." aku menggenggamkan jariku melingkarinya.
Aku merasakannya mulai mengeras pada sentuhanku. Aku pernah dengar
kemaluan yang belum di sunat tapi aku belum pernah melihat sebelumnya.
Saat itu mengeras aku lihat kulitnya menyingkap. Aku menyingkap dengan
lemah-lembut dan melihat kulitnya menarik kembali memperlihatkan sebuah
mahkota yang tinggi.
"Apa itu melukai kamu?"
"Kebalikannya Lusi, sentuhanmu terasa nikmat. Apa kamu belum pernah melihat sebuah penis yang belum disunat?" Aku menatapnya.
"Tidak disunat."
"Oh Tuhan. Martin tolong jangan tertawakan aku. Satu-satunya kemaluan
yang telah kulihat hanya milik Tom. Dan bahkan saat dia sedang ereksi
tidak seperti milikmu. Aku tidak pernah melakukan sesuatu seperti ini
sebelumnya. Apakah itu benar jika aku hanya merasakan kemaluanmu dan
melihatnya?"
"Lusi, Lusi sayang. Kamu adalah sebuah harta karun seutuhnya. Aku tidak
pernah akan menertawakan kamu. Kamu adalah sebuah bunga yang menunggu
untuk mekar. Lakukanlah, remas penisku, rasakan bagaimana kamu
membuatnya keras, tapi tolong sebut ini dengan penis bukan kemaluan"
"Oh brengsek, kamu pasti berpikir aku adalah orang bodoh atau yang
semacam itu. Aku merasa seperti seorang idiot. Maafkan aku, aku tidak
ingin menggoda, benar-benar tidak. Bukan berarti aku tidak bisa
berhubungan seks atau apapun yang seperti itu. Hanya saja aku tidak
pernah berada di dalam situasi seperti ini." aku jelaskan panjang lebar
sekarang, menjatuhkan penisnya seperti sebuah kentang panas.
"Lusi, tenang. Percayalah padaku, aku tidak berpikir kamu adalah seorang
yang bodoh atau apapun yang seperti itu. Lakukanlah, ini adalah
kesempatanmu untuk merasakan sebuah penis. Ambil kesempatanmu." dia
menempatkan tanganku kembali pada penisnya, menggenggam jarinya ke
jariku.
"Katakan penis, Lusi. Katakanlah apa yang sedang kamu pikirkan. Hanya
kocok sedikit" ketika tangannya memandu tanganku dalam sebuah gerakan
mengocok.
Aku menyaksikan dengan tertarik saat tangannya memandu tanganku yang
pelan-pelan mengocok ke atas-bawah pada batang yang keras itu. Aku
melihat kulitnya menyingkap memperlihatkan bagian atas kepala yang
dimahkotai saat kocokanku bergerak ke bawah dan kemudian pada kocokan ke
atas, kulitnya membungkus kepalanya dan membentuk sebuah ujung yang
berkerut. Tangannya melepaskan lenganku.
Aku melanjutkan mengocok penisnya seperti terhipnotis. Aku menekannya.
Aku bisa merasakan penisnya yang menjadi lebih keras. Aku meremasnya
lebih keras dan dalam pikiranku aku sedang berkata ' penis' berulang
kali. Kemudian aku mengucapkannya.
"Penismu jadi sangat keras. Rasanya sangat hangat. Aku ingin meremas
penismu." dan tiba-tiba aku ingin katakan semua kata-kata yang selama
ini ku tabukan. Perkataan penis nampak membuatnya lebih erotis lagi.
"Umm, ya. Remas Lusi." tangannya kini meluncur ke balik blusku. Tekanan
lengan tangannya pada wajahku membawa pipiku bersentuhan dengan
penisnya.
Aku memandangi cermin di seberang kami. Aku belum pernah melihat diriku
yang sedang berhubungan seks. Sekarang aku menjadi sangat terangsang
saat aku melihat diriku menggosok penisnya pada pipiku, melihat kancing
blusku terbuka saat tangannya menuju ke payudaraku. Blusku terbuka.
Tangannya menyelinap masuk braku. Jarinya menjepit puting susuku.
Aku tidak bisa percaya bagaimana nikmatknya rasanya. Bagaimana sangat
erotisnya. Bagaimana sangat sangat bersalah tetapi sangat sangat
menggairahkan. Tangannya memaksa braku turun, puting susuku jadi
terlihat. Aku melihat ke atas dan melihat Martin yang sedang menatap ke
cermin juga.
"Kamu mempunyai puting susu yang menakjubkan Lusi. Mereka sangat keras,
sangat besar. Mereka seperti permata merah muda di atas bukit. Apakah
kamu suka mereka dijepit?"
"Ya. Itu rasanya enak. Aku suka mereka dijepit dengan keras."
Aku melihat di dalam cermin, blusku tersingkap hingga perut, sebelah
payudaraku terekspose penuh sedang braku tetap menutup yang sebelahnya.
Tangan Martin memegang putingku, ibu jari dan jari telunjuknya berputar,
menarik, menekan puting susuku. Aku melihat tanganku yang mengocok
penis tebalnya, menggosoknya pada pipiku. Aku melihat cairan precumnya
keluar sedikit dari lubang kencingnya kemudian dia mengamati saat aku
mengoleskan precumnya ke pipiku..
Aku memalingkan wajahku menghadap penisnya, mengamati precum yang
pelan-pelan membentuk tetesan yang lain. Aku menggosokkan ibu jariku di
ujung penisnya, menikmati genangan dari precum itu ketika aku menekan
kepala penisnya. Menjadikan kepala penisnya berkilauan. Aku menggosok
penisnya pada pipiku lagi.
Aku merasa tangan Martin yang bebas berada di kepalaku, merasa dia
memutar kepalaku dengan lembut. Penisnya meluncur melewati pipi dan
menggosok bibirku. Secara naluri aku membuka mulutku, mulai menjilat
kepala kerasnya yang hangat. Aku melanjutkan mengocok penisnya ketika
mulutku mengulum kepala itu. Itu bahkan nampak lebih besar sejak aku
menghisapnya.
"Umm, yaa. Gerakkan lidahmu Lusi. Tuhan, rasanya enak. Bermain-mainlah
dengannya sayang. Jilat naik turun batang itu. Umm, nikmat."
Kujalankan lidahku naik turun sepanjang batang itu. Penisnya kini
berkilauan dengan air liurku. Saat mulutku berada pada buah zakarnya,
dia mengangkat penisnya sedemikian rupa sehingga buah zakarnya menggosok
daguku. Aku belum pernah menjilat buah zakar seseorang, tetapi aku tahu
apa yang dia inginkan. Itu apa yang juga aku inginkan. Aku ingin
bermain-main dengan kantong besar itu. Aku mulai menjilat buah zakarnya
saat penisnya berada tepat di wajahku. Aku bisa merasakan panas dari
penisnya di wajahku.
Martin menarik blusku yang tersisa melewati bahu. Ketika melepaskannya
dari badanku, dia melepaskan braku juga, yang mengikuti blusku jatuh ke
lantai. Aku mengerling ke cermin itu. Memandang dan merasa tangan
besarnya mencakup payudara kecilku. Aku kembalikan tatapanku pada
penisnya, ketika jarinya dengan lembut mulai memutari puting susuku. Aku
melihat pembuluh darah biru yang panjang di sepanjang batang itu. Aku
sapukan lidahku sepanjang pembuluh darahnya, dan kemudian menekan kepala
penisnya untuk membuka lubangnya sedemikian rupa sehingga aku bisa
memeriksanya dengan lidahku.
"Tuhan kamu mempunyai puting susu yang keras Lusi. Apa kamu suka mereka
dihisap? Katakanlah apa yang kamu inginkan, aku ingin membuat kamu
merasakan nikmat seperti yang kamu lakukan untukku."
"Dijepit, ya yang keras. Dan hisap, gigit putingku." aku berbisik dengan penisnya yang menyentuh bibirku.
"Bagus. Aku suka menghisap puting." dia tertawa saat menarikku berdiri pada kakiku.
Saat aku melepaskan genggamanku pada penisnya dia berlutut di depanku.
Mulutnya menelan satu payudara, dia mulai menghisap selagi lidahnya
menjilat puting susuku. Tangannya pada punggungku, memelukku erat,
membelaiku saat dia menghisap payudara yang kiri kemudian berganti yang
sebelah kanan. Saat dia menghisap dalam mulutnya, aku bisa merasakan
lidahnya yang menjilat, kemudian ketika mulutnya mundur, giginya dengan
lembut menggigit puting susuku. Dia memegang puting susuku diantara
giginya dan menjalankan ujung lidahnya. Tuhan, itu terasa nikmat.
Saat dia bekerja pada putingku, tangannya meluncur menuju ke pinggulku.
Kulepas kancing celana panjangku. Celana panjang dan celana dalamku
dilepasnya sekaligus. Sama sekali tanpa berpikir tentang itu, aku
melangkah keluar dari pakaianku yang terakhir. Dia masih menghisap,
menggigiti puting susuku saat tangannya sekarang membelai kaki dan
pantatku. Secara naluriah aku melebarkan kakiku, mengundang tangannya
pada vaginaku. Larangan terkhirku menguap ketika Martin mulai mengelus
vaginaku.
Aku memandangnya, melihat bibirnya bekerja di sekitar payudaraku. Aku
melihat putingku tertarik keluar saat ia menghisap dan menggigit dan
menarik puting susuku dengan mulut dan giginya. Aku melihat tangannya
menggosok vaginaku. Aku melihat jarinya menghilang lenyap ke dalam
rimbunan rambut lebatku. Merasa jarinya meluncur menyentuh vaginaku.
Saat dia menggerakkan jarinya keluar masuk, aku menggelinjang.
"Terasa enak?" dia tersenyum.
"Ya, ya."
"Umm, dan rasanya enak juga." katanya saat menarik jarinya dan
menjilatnya, dan kemudian menyodorkan jarinya kepadaku untuk dijilat.
Aku belum pernah merasakan diriku sendiri. Jika itu pernah terjadi
kepadaku, aku yakin aku akan menganggap itu adalah sebuah tindakan yang
menjijikkan. Tetapi sekarang aku menjilat jarinya dan merasa kagum bahwa
aku menyukai itu.
"Aku pikir vagina ini memerlukan sebuah jilatan yang bagus. Kamu suka
vaginamu dioral, ya kan? Tidak pernah ada seorang perempuan yang tidak
menyukainya"
Aku suka itu. Hanya saja itu tidak sering terjadi. Tetapi sekarang aku
menginginkannya lebih dari yang pernah ada. Dia mengangkatku ke atas
meja, mendudukkanku pada tepinya. Aku membuka lebar kakiku mengundang
mulutnya kepada bibirku. Menempatkan jariku pada vagina, aku
melebarkannya terbuka, menarik rambutnya ke samping. Aku merasa sangat
erotis saat aku membayangkan pandangannya pada vaginaku, daging merah
muda yang basah yang kini terpampang karena bibirnya yang terbuka.
Ke Bagian 4